Search
Search
Close this search box.
1000084622
Candu Kurikulum Merdeka

Cerpen oleh Eva Oktavia, S.Pd.

 

“Tiga tahun memang bukan waktu yang lama bagi seorang guru untuk mengukur pengalaman mengajar”. Keharusan dalam menerapkan Kurikulum Merdeka sangat menggangu pikiran dan batinku. “Apakah aku mampu menerapkan kurikulum tersebut di Tengah keterbatasan yang ada…?”

Di sebuah desa yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, desa yang begitu asri, dan tempat terbaik untuk meraih mimpi dan mengenyam pendidikan, terdapat sebuah sekolah yang baru saja mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Dengan segala keterbatasannya, berusaha menjalankan kebijakan baru tersebut. Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Ada yang merasa seperti merdeka, tetapi ada juga yang terjebak dalam harapan palsu.

Fajar Hermawan itulah nama lengkapku, salah satu guru muda yang baru tiga tahun mengajar di SD Nirmala, “Aku sangat senang dan bangga bisa menjadi guru walau hanya mengajar di desa terpencil!” Namun dengan diberlakukannya kurikulum baru yakni KURMER alias Kurikulum Merdeka aku merasa terperangkap dalam kebingungan. Fajar merasa seperti seorang pelaut yang mengarungi lautan tanpa peta. Semua terasa kabur. Tak ada lagi ketegasan dalam struktur pengajaran, tak ada lagi petunjuk pasti tentang apa yang harus dilakukan di kelas.

“Apa yang terjadi dengan kurikulum ini?” gumam Fajar sambil memandangi lembaran panduan yang baru diterimanya. “Harusnya lebih bebas, fleksibel, tapi kenapa malah semakin rumit dan membingungkan?”

Di kelas, Fajar mencoba untuk mengikuti prinsip-prinsip merdeka yang diajarkan dalam pelatihan. Dia memberi kesempatan pada murid-muridnya untuk memilih topik yang mereka minati. Namun, kebebasan itu justru membuat anak-anak semakin bingung. Ada yang memilih topik tentang dinosaurus, ada yang tentang teknologi, ada juga yang tertarik dengan alam. Fajar merasa seperti berada dalam kebingungannya sendiri, tidak tahu mana yang harus didalami lebih dulu.

Kebebasan yang diberikan oleh Kurikulum Merdeka justru menjadi candu. Setiap kali Fajar mencoba untuk mengatur kelas, murid-muridnya justru semakin bingung. Mereka merasa bebas untuk memilih, tetapi tanpa arahan yang jelas, kebebasan itu hanya menjadi sebuah ilusi.

Setelah beberapa minggu berlalu, Fajar menyadari meskipun kebebasan adalah hal yang baik, tanpa struktur yang jelas, maka bisa menjebak. Ia merasa seperti seorang penari yang bergerak tanpa koreografi, mencoba mengikuti irama yang tak jelas arah tujuannya.
Seperti hari sebelumnya, Fajar mengajar di kelas, Ia melihat dan memperhatikan salah satu muridnya, Dini, tampak sangat serius. Dini adalah salah satu murid yang selalu aktif dan penuh semangat. Namun, kali ini dia tampak ragu-ragu saat memilih topik. “Pak, saya bingung,” katanya dengan suara pelan. “Mau pilih topik apa ya? Banyak yang menarik, tapi semuanya membuat saya bingung.”

Fajar tertegun dan terdiam. Di situlah ia mulai menyadari satu hal penting. Kebebasan itu memang indah, tetapi ada kalanya seseorang membutuhkan batasan untuk menemukan arah. Dini, seperti murid lainnya, ingin belajar, tetapi terlalu banyak pilihan membuatnya merasa tersesat dan terjebak dalam kebingungan.

 

 

Hari itu, Fajar memutuskan untuk berbicara dengan kepala sekolah, Bu Sari. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang Kurikulum Merdeka. Bu Sari dengan bijak menjelaskan, “Kurikulum Merdeka memang memberikan kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibingkai dengan pemahaman yang jelas. Jika tidak, kita bisa terjebak dalam kebingungannya sendiri.”

Fajar mulai menyadari, bahwa untuk merdeka, ada kalanya harus ada pegangan. Kebebasan tanpa arahan yang jelas bisa menyesatkan. Di sinilah tantangan sebenarnya, menciptakan keseimbangan antara kebebasan belajar dan pembelajaran yang terarah.

Minggu-minggu berikutnya, Fajar mulai merancang pendekatan yang lebih terstruktur dalam kebebasan yang diberikan. Ia memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk memilih topik, tetapi ia juga memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana mereka bisa menjelajahi topik tersebut dengan lebih fokus.

Di akhir semester, Fajar melihat perubahan yang nyata. Murid-muridnya tidak hanya lebih bersemangat, tetapi mereka juga mulai menunjukkan kemajuan yang lebih terarah. Mereka mulai menemukan minat mereka, tetapi dengan bimbingan yang cukup untuk memandu mereka ke arah yang benar.

Satu hal yang Fajar sadari, dalam dunia pendidikan, kebebasan itu seperti air. Jika dibiarkan begitu saja, ia bisa menggenang dan membanjiri. Namun, jika dibingkai dengan sungai yang benar, kebebasan itu akan mengalir dengan indah, membawa banyak manfaat. Kurikulum Merdeka bukanlah solusi instan untuk semuanya, tetapi jika digunakan dengan bijak, ia bisa menjadi jalan menuju pendidikan yang lebih baik.

Dengan itu, Fajar akhirnya menemukan kembali semangatnya untuk mengajar, bukan hanya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai pembimbing yang mampu membantu murid-muridnya menemukan arah dalam kebebasan yang mereka pilih.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait