Cerpen oleh “Hazizi”
Raihan menatap kertas ujian di depannya dengan enggan. Baginya, sekolah telah mengalami kemunduran dengan menerapkan ujian berbasis kertas. Dunia sudah semakin canggih, dan seharusnya pembelajaran berbasis teknologi lebih diutamakan. Apa gunanya laptop dan internet jika semuanya harus dituangkan dalam lembaran kertas yang melelahkan?
Sejak peraturan baru itu diterapkan, semangat belajarnya menghilang. Nilainya pun perlahan merosot―membuat guru-guru mulai meragukan kemampuannya. Padahal, sebelumnya, ia adalah siswa paling cerdas di sekolah. Ia selalu menempati peringkat pertama.
Raihan tidak menemukan maksud yang baik dari peraturan seperti ini.
“Menulis hanya membuang waktu,” keluhnya pada Hafidz, teman sekelasnya yang tidak terlalu menonjol dalam akademik tetapi banyak disenangi oleh teman-temannya.
Hafidz menggeleng pelan. “Bagi saya menulis itu bukan sekadar tugas. Menulis adalah cara kita menuangkan keseluruhan ide dalam bentuk konkret”
Raihan mendengus. “Itu menurutmu. Tapi dunia ini bergerak maju. Semua orang sekarang mengetik, bukan menulis di atas kertas.”
Hafidz tidak tersinggung, dengan sabar, ia mencoba menjelaskan bahwa menulis tangan bisa melatih kreativitas dan pemikiran kritis.
Meski begitu, Hafidz yakin bahwa Raihan akan menjadi sangat pintar ketika dia membiasakan diri menulis dan menuangkan idenya dalam bentuk tulisan.
Namun, Raihan tetap keras kepala. Ia bahkan meluapkan kekesalannya di media sosial ― menyindir kebijakan sekolah yang dianggapnya kuno. Melihat hal itu, Hafidz mengingatkan bahwa tindakannya dapat mempermalukan sekolah dan dunia pendidikan. Ia memberi saran kepada Raihan.
“Daripada hanya mengeluh di media sosial, kenapa tidak menuliskan opini di mading sekolah? Kalau kamu ingin menyampaikan argumentasi, buatlah tulisan yang bisa dibaca dan dipertimbangkan oleh banyak orang.”
Namun, ide itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Raihan. “Menulis di mading? Itu sama saja membenarkan penggunaan kertas! Aku tak mau terlibat dalam sistem yang ketinggalan zaman ini.”
Segala upaya Hafidz untuk mengingatkan hanya berakhir dengan penolakan. Hingga suatu hari, Raihan mendapat kesempatan besar: ia ditunjuk sebagai wakil sekolah dalam olimpiade sains tingkat provinsi di Lampung.
Saat tiba hari lomba, Raihan sangat bersemangat. Ujian akan dilakukan dengan sistem CBT (Computer-Based Test), sesuatu yang ia yakini lebih adil dan modern. Namun, takdir berkata lain. Angin puting beliung melanda, menyebabkan pemadaman listrik serentak. Panitia terpaksa mengubah metode ujian menjadi berbasis paper dengan tugas mengembangkan ide proyek yang harus ditulis tangan.
Darahnya seakan membeku. Ia memegang pena dengan kaku, menatap lembaran kosong di depannya. Otaknya buntu. Ia terbiasa mencari referensi di internet, menyusun dan mengembangkan ide dari berbagai sumber. Tapi kali ini, semua harus murni dari pikirannya sendiri.
Hafidz benar, pikirnya dalam hati. Ia tidak terbiasa menuangkan ide tanpa bantuan teknologi. Namun, ia tak ingin menyerah begitu saja. Raihan Mengingat kembali pengalaman dari program P5 yang pernah diikutinya, ia mencoba menyusun gagasan secara sistematis. Perlahan, tangannya mulai bergerak, menuliskan ide proyek yang bisa ia kembangkan. Meski tertatih, ia akhirnya bisa menyelesaikan tugasnya.
Pengumuman pemenang pun tiba. Raihan hanya meraih juara tiga. Bukan hasil yang buruk, bukan pula yang terbaik. Meski begitu, ia sadar bahwa pengalaman ini memberinya pelajaran yang jauh lebih berharga.
Saat kembali ke sekolah, ia menghampiri Hafidz dengan senyum kecil. “Aku akan menulis di mading,” katanya singkat.
Hafidz menoleh, terkejut sekaligus senang. “Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?”
Raihan tersenyum tipis. “Karena aku sadar, ide-ide hebat tidak akan berarti apa-apa jika hanya tersimpan dalam kepala atau sekadar diluapkan di media sosial. Mereka harus dituangkan dalam bentuk tulisan agar bisa menginspirasi orang lain.”
Sejak saat itu, Raihan mulai memandang menulis dengan cara yang berbeda. Ia belajar bahwa teknologi memang penting, tetapi keterampilan menulis tetaplah sesuatu yang tak tergantikan.
- Catatan;
P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dalam Kurikulum Merdeka adalah pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan kompetensi siswa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. P5 mendorong siswa untuk belajar melalui pengalaman nyata, bekerja dalam tim, serta mengasah keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan berorientasi pada solusi. Proyek yang dilakukan beragam, seperti kewirausahaan, lingkungan, budaya, hingga teknologi, sesuai dengan tema yang ditetapkan sekolah.